I.
Pengertian
Hukum
perikatan terdiri dari kata Hukum dan perikatan. Perikatan berasal dari kata
verbintensis yang memiliki banyak arti, di antaranya sebagai berikut :
1
Perikatan, yaitu masing – masing pihak saling terikat oleh suatu kewajiban /
prestasi (Subekti dan Sudikno)
2.
Perutangan, yaitu suatu definisi yang terkandung dalam Verbintenis. Adanya
hubungan hutang piutang antara para pihak ( Sri Soedewi, Vol Maar dan Kusumadi)
3.
Perjanjian / overeenkomst (Wiryono Prodjodikoro)
Berdasarkan
Istilah, perikatan adalah hubungan hukum dalam lingkungan Harta
kekayaaan antara dua pihak / lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban atas
suatu prestasi. akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain
yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan
itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat
dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession)
serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
II.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang
timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang
timbul undang-undang.
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
III.
Azas-Azas Dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam
Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
1.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal
1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
2.
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya
kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat ,yaitu :
1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang
halal
IV.
Wanprestasi Dan Akibat-Akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk dari
wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa
yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa
yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang
dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hal – hal yang
diakibatkan dari wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur
yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
1. Membayar Kerugian
yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
2. Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
3. Peralihan Risiko
V.
Hapusnya Perikatan
Perikatan
itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
1. Pembaharuan
utang (inovatie)
Inovasi
adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada
saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula. Ada dua macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana
perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif,
dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
2. Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya
3. Pembebasan
utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur.
4. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi
berdasarkan undang-undang.
5. Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
6. Musnahnya barang
yang terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan
atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force
majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang
akibat-akibat dari perikatan tersebut.
7. Pembatalan
perjanjian
Semua
perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada
di bawah pengampuan adalah batal demi hukum.
8. Percampuran Hutang
Percampuran
hutang adalah suatu kedudukan dimana kreditur dan debitur berkumpul pada satu
orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dan oleh sebab itu
piutang dihapuskan.
9. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Oleh
Penyimpanan
Jika
kreditur menolak pembayaran, maka debetur dapat melakukan penawaran pembayaran
tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya,maka
debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan.
10. Karena Pembayaran
Pembayaran
adalah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya
tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Sumber :