BAB XI
HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
A.
PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta
intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property
Right. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut
adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of
the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada
seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI
mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI
merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda
imateriil).
Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud
(seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya
berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra,
keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
B.
PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip – prinsip Hak Kekayaan
Intelektual :
1. Prinsip Ekonomi.
Prinsip
ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya
pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
2. Prinsip Keadilan.
Prinsip
keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja
membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
3. Prinsip Kebudayaan.
Prinsip
kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk
meningkatkan kehidupan manusia
4. Prinsip Sosial.
Prinsip
sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang
diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan
sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat.
C.
KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan
WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak
cipta ( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak kekayaan
industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu
tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan
industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris
mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen
pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
- Paten
- Merek
- Varietas tanaman
- Rahasia dagang
- Desain industry
- Desain tata letak sirkuit
terpadu
D.
DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
- UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta
- UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
- UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI
Tahun 1987 Nomor 42)
- UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7
Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
E.
HAK CIPTA
PENGERTIAN
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi
adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Hak Cipta :
Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal
1 ayat 1)
Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang
lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya
diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar Hukum
HAK CIPTA :
- UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta
- UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
- UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI
Tahun 1987 Nomor 42)
- UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
F.
HAK PATEN
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
- Paten adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
- Hak khusus yang diberikan
negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau
memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1
Undang-undang Paten).
- Paten diberikan dalam ruang
lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam
proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility
models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat
perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
- Paten hanya diberikan negara
kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang
teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan
masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
- proses;
- hasil produksi;
- penyempurnaan dan pengembangan
proses;
- penyempurnaan dan pengembangan
hasil produksi
Dasar
Hukum HAK PATEN :
- UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang
Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
- UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang
Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun
1997 Nomor 30)
- UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
G.
HAK MERK
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
Merek
merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa)
tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga
kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
Merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna
atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang
Merek).
Istilah
– Istilah Merk :
- Merek dagang adalah merek yang digunakan
pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang
sejenis lainnya.
- Merek jasa yaitu merek yang digunakan
pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.
- Merek kolektif adalah merek yang digunakan
pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan
oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan
dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
- Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan
negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk
jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi
izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan
hukum untuk menggunakannya.
Dasar
Hukum HAK MERK :
- UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
- UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun
1997 Nomor 31)
- UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
H.
DESAIN INDUSTRI
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk,
konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau
gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang
memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua
dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas
industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)
I.
RAHASIA DAGANG
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia
Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi
dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha,
dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
Sumber :
http://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/09/klasifikasi-hak-kekayaan-intelektual/
http://ikharetno.wordpress.com/2012/04/08/hak-kekayaan-intelektual-haki/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/prinsip-prinsip-hak-kekayaan-intelektual-2/
BAB 12
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. PENGERTIAN KONSUMEN
Konsumen yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang
membutuhkan barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan
hidupnya.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang
perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi
barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan
perdaganan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
infomatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang,
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena
kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi
serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas
barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
2. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan
tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di
tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
A. Asas
perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan
Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
·
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara
keseluruhan.
· Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi
seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
·
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti material maupun spiritual.
·
Asas keamanan dan keselamatan
konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku
usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
B. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen
Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
·
Meningkatkan kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·
mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian
barang dan/atau jasa.
·
Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·
Menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·
Menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang
jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·
Meningkatkan kualitas
barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3.
HAK
DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa,
konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak
konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis
dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4,
hak-hak konsumen sebagai berikut :
·
Hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak untuk memilih dan
mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan .
·
Hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·
Hak untuk didengar pendapat
keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
· Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak untuk mendapatkan
pembinaan dan pendidikan konsumen.
·
Hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal
4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur
tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam
hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak
yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di
Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal
382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum,
hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban
pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk
didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak
konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen
memperjuangkan hak-haknya.
B.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai
dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
•
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
•
Beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
•
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
•
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
4.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku
usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Bila diperhatikan dengan
seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak
dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen
merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan
ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan
UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan
kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
5.
PERBUATAN YANG
DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal
8 )
2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran
(Pasal 9 – 16)
3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku
usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
·
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
·
tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan
atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau
jasa tersebut;
·
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau
jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
·
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
·
tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di
pasang/dibuat;
·
tidak mencantumkan informasi dan/atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur
oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan
minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap
daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib
memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan
sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan
keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila
kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan
sebagai berikut:
Ø Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Ø Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya
kurang baik atau kurang sempurna.
Ø Bekas: sudah pernah dipakai.
Ø Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk
membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut
sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat
digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada
awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang
bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi
lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada
ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta
wajib menariknya dari peredaran.
6.
KLAUSA BAKU
DALAM PERJANJIAN
Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang
telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang engikat dan wajib
dipenuhi olehkonsumen. Lazimnnya klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil
pada kuitansi, faktur atau bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi
jual beli.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen
karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus
diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit
membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita harus
selalu menegoisasikan syarat dan ketentuannya. Misalnya, jika membeli tiket
meninton pertunjukan, apakah wajar untuk menegoisasikan akibat hukum jika
pertunjuka itu dibatalkan ? namun demikian, untuk melindungi kepentingan
konsumen beberapa jenis klausula baku secara tegas diilarang dalam
undang-undang perlindungan konsumen.
Klausula baku yang dilarang, ada klausula baku yang
diilarang dalam UU PK artinya klausula baku selain itu sah dan mengikat secarra
hukum.
Klausula baku dilarang mengandung unsure-unsur atau pertanyaan :
1.
Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsuumen.
2.
Hak pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen.
3.
Hak pegusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang
dibeli konsumen.
4.
Pemberian kuasa dari konsuumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan
sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli secara umum.
5.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli konsumen .
6.
Hak pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
7.
Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya.
8.
Pemberian kuasa kepada pengusaha untuk membebankan hak tanggungan, gadai, atau
hak jaminan terhadapbarang yang dibeli oleh kosumensecara angsuran pasal 56 UU
8/99.
Selain itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat jelas dibaca, aytau yang
maksuudnya sulit dimengerti.
Jika pengusaha tetap mencantumkan klausula baku yang
dilarang tersebut, maka klausula itu batal demi hukum. Artinya klausula itu dianggap
tidak pernah ada..
7.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung
jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk
timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk
yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan
melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor
8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur
tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan
pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut
hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand
diderita konsumen, apabila :
·
barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
·
cacat barang timbul pada kemudian hari;
·
cacat timul akibat ditaatinya ketentuan
mengenai kualifikasi barang ;
·
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
·
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun
sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
8.
SANKSI BAGI PELAKU
USAHA
Masyarakat boleh merasa lega
dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan
berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi,
mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang
tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau
tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di
dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen
dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha
yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu
yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang
tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan
pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha
masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha,
yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian
barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam
nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar
atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara
hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999
dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi
hukum.
Namun dalam praktiknya,
masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini
peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman
klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara
penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang
tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas
bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku
usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda
paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat
penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa
dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku
usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata
:
·
Ganti rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian uang atau
·
Penggantian barang atau
·
Perawatan kesehatan, dan/atau
·
Pemberian santunan
·
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7
hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui
BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
·
Kurungan :
·
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1)
huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
·
Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000
(lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1)
huruf d dan f
·
Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang
No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat,
sakit berat, cacat tetap atau kematian
·
Hukuman tambahan , antara lain :
·
Pengumuman keputusan Hakim
·
Pencabuttan izin usaha;
·
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
·
Wajib menarik dari peredaran barang dan
jasa;
·
Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada
masyarakat .
SUMBER :
BAB 13
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT
1. Pengertian
Pengertian
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999
tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli
No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn
Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli.
2. Azas dan Tujuan
Dalam
melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang terkandung di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
1.
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.
Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil.
3.
Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.
Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.
3. Kegiatan yang dilarang
Bagian Pertama Monopoli Pasal
17 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga
atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
A.
barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada
substitusinya; atau
B.
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat
masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
C.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaMonopsoni Pasal 18
(1) Pelaku
usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
Bagian Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 Pelaku usaha dilarang melakukan satu
atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat berupa:
a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b.
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat Persekongkolan Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol
dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23 Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok
di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun
ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
4. Perjanjian yang
dilarang
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan
produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau
seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar,
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
b.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d.
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih
pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa
tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau
proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali
barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak
luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
5.
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh
Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu
yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar
negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu
yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan
sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi
:
(a) Pencegahan konsumen untuk
memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan
pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa
masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah
satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan
hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja
yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti
Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal
25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal
24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000
(dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000
(lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3
(tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal
10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha
yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk
menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau
tindakan tertentu yang menyjavascript:void(0)ebabkan timbulnva kerugian pada
pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU
Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana
Sumber :
BAB 14
PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI
1. Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa
dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik
berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok,
atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Winardi
mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan
menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari
persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa
sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi
salah satu diantara keduanya.
2. Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk
mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan
antar negara.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB:
·
Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan
usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak
melibatkan pihak ketiga.
·
Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak
memihak dimaksud untuk mencari fakta.
·
Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika
pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan
yang terjadi diantara mereka.
3. Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah
bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford,
negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi
formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak
mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang
berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk di
dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau
memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.
4. Mediasi
Mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan
dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan
yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan
hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada
paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama
proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari
para pihak.
5. Arbitrase
Arbitrase adalah salah
satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan
kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan
putusan.
6. Perbandingan antara
Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
A. Perundingan:
merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan
yang bisa diterima.
B. Arbitrase:
Kekuasaan untuk menyelesaiakan suatu perkara menurut kebijaksanaan.
C. Ligitasi:
Proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan
atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
Jadi
perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari penyelesaian
pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua
belah pihak yang bertikai. Kedua ialah ke jalan Arbitrase, ini digunakan jika
kedua belah pihak tidak bisa menyelesaiakan pertikaian yang ada oleh sebab itu
memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan
dengan menggunakan pihak ketiga, oleh sebab itu mereka memutuhkan hukum atau
pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.
Sumber:
BAB 14 : PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
A.
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti
pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan.
Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
“Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain”.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat : “Sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang
suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya”.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa
adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan
suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu
diantara keduanya.
B. Tujuan memperkarakan
suatu sengketa
- untuk
menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
- pemecahannya
harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
C.
Cara – cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah
dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar
negara.
- Menurut
pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan) Piagam PBB
- Negosiasi
(perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua
pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak
ketiga.
- Enquiry
(penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud
untuk mencari fakta.
- Good
offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa
tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi
diantara mereka.
2. Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan
- Memberi
kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan
kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
- Sebaliknya
secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk
perkara di pengadilan.
3. Cara Lain
Selain kedua cara diatas, ada cara lain dalam menyelesaiakan
sengketa ekonomi.
- NEGOSIASI
dan ADR: Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini
telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80%
(delapan puluh persen) sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya
melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose tetapi win-win.
Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang
memuaskan para pihak.
- ARBITRASE:
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan
pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan
klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian
sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.
- PENGADILAN:
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah
masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan.
Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam
melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah
keluarkan. Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu
pula persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.
- MEDIASI:
Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga
yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang
diterima oleh kedua belah pihak.
- LIGITASI
: Proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke
pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas
kerusakan.
D.
Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
Dari beberapa cara penyelesaian sengketa di atas, saya akan
menyimpulkan dan membandingkan tiga cara penyelesaian yaitu:
- Perundingan:
merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau
kesepakatan yang bisa diterima.
- Arbitrase:
Kekuasaan untuk menyelesaiakan suatu perkara menurut kebijaksanaan.
- Ligitasi:
Proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke
pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas
kerusakan.
Jadi perbandingan diantara ketiganya
ini merupakan tahapan dari penyelesaian pertikaian. Tahap pertama terlebih
dahulu melakukan perundingan diantara kedua belah pihak yang bertikai. Kedua
ialah ke jalan Arbitrase, ini digunakan jika kedua belah pihak tidak bisa
menyelesaiakan pertikaian yang ada oleh sebab itu memerlukan pihak ketiga.
Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pihak
ketiga, oleh sebab itu mereka memutuhkan hukum atau pengadilan untuk
menyelesaikan pertikaian yang ada.
BAB 11
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL( HAKI )
A.
PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini
merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata
“intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah
kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan
kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana
HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci
HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud
(benda imateriil).
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak
berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual
sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra,
keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
B.
PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip
– prinsip Hak Kekayaan Intelektual :
1. Prinsip
Ekonomi.
Prinsip
ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya
pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
2. Prinsip
Keadilan.
Prinsip
keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja
membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
3. Prinsip
Kebudayaan.
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan,
sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan manusia
4. Prinsip Sosial.
Prinsip
sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang
diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan
sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat.
C.
KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan
WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak
cipta ( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak
kekayaan industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala
sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak
kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi
Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di
amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
- Paten
- Merek
- Varietas
tanaman
- Rahasia
dagang
- Desain
industry
- Desain
tata letak sirkuit terpadu.
D.
DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
- UU Nomor
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
- UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor
15)
- UU
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
- UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI
Tahun 1997 Nomor 29)
E.
HAK CIPTA
PENGERTIAN
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta :
Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup
bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan
secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara
bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk
yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar
Hukum HAK CIPTA :
- UU
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
- UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor
15)
- UU
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
- UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI
Tahun 1997 Nomor 29)
F.
HAK PATEN
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
- Paten
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
- Hak
khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di
bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk
melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).
- Paten
diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan
yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula
paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi
memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten
sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
- Paten
hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan
(baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah
kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
- proses;
- hasil
produksi;
- penyempurnaan
dan pengembangan proses;
- penyempurnaan
dan pengembangan hasil produksi
Dasar
Hukum HAK PATEN :
- UU
Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
- UU
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
- UU
Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor
109)
G.
HAK MERK
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1
Ayat 1)
Merek
merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa)
tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga
kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang
Merek).
Istilah
– Istilah Merk :
- Merek
dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
- Merek
jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
- Merek
kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan
karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan
hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis
lainnya.
- Hak
atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik
merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu,
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Dasar
Hukum HAK MERK :
- UU
Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
- UU
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
- UU
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor
110)
H.
DESAIN INDUSTRI
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk,
konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau
gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang
memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua
dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas
industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)
I.
RAHASIA DAGANG
Menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia
Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi
dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha,
dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
Sumber
:
http://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/09/klasifikasi-hak-kekayaan-intelektual/
http://ikharetno.wordpress.com/2012/04/08/hak-kekayaan-intelektual-haki/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/prinsip-prinsip-hak-kekayaan-intelektual-2/
BAB 12
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. PENGERTIAN
KONSUMEN
Konsumen yaitu beberapa
orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka
gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan
perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
2. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya perlindungan
konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah
diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis.
Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki
dasar pijakan yang benar-benar kuat.
A.
Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada
lima asas perlindungan konsumen.
· Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
·
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
· Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
· Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
· Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
Negara menjamin kepastian hukum.
B.
Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan
bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
· Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
· mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
· Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
· Menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
· Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
· Meningkatkan kualitas barang/jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki
sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting
agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara
spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh
untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam
saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai
berikut :
· Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
· Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
.
· Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
· Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
· Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
· Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
· Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat
hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban
pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga
kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan
tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang.
Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan
oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal
dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU
No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen
dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang
merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan
apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana
konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
• Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
• Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa;
• Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
• Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4. HAK DAN KEWAJIBAN
PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak
dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal
7 UUPK adalah:
1.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
2.
memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.
memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan
kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini
berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima
pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
5. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian
dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
produksi (Pasal 8 )
2.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.
larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal
17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan
Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
· tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
· tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,
dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
· tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
· tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
· tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
· tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
· tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
· tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
· tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
· tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri.
Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan
yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada
ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam
berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui
label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa
itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Ø Rusak: sudah tidak
sempurna (baik, utuh) lagi.
Ø Cacat: kekurangan yang
menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Ø Bekas: sudah pernah
dipakai.
Ø Tercemar: menjadi
cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan
tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan
lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah
berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan
utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu
sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
6. KLAUSA BAKU DALAM PERJANJIAN
Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang
telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang engikat dan wajib
dipenuhi olehkonsumen. Lazimnnya klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil
pada kuitansi, faktur atau bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi
jual beli.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena
tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula
baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam
banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita harus selalu menegoisasikan
syarat dan ketentuannya. Misalnya, jika membeli tiket meninton pertunjukan,
apakah wajar untuk menegoisasikan akibat hukum jika pertunjuka itu dibatalkan ?
namun demikian, untuk melindungi kepentingan konsumen beberapa jenis klausula
baku secara tegas diilarang dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Klausula baku yang dilarang, ada klausula baku yang
diilarang dalam UU PK artinya klausula baku selain itu sah dan mengikat secarra
hukum.
Klausula
baku dilarang mengandung unsure-unsur atau pertanyaan :
1.
Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsuumen.
2.
Hak pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen.
3.
Hak pegusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang
dibeli konsumen.
4.
Pemberian kuasa dari konsuumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan
sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli secara umum.
5.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli konsumen .
6.
Hak pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi objek jual beli jasa.
7.
Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya.
8.
Pemberian kuasa kepada pengusaha untuk membebankan hak tanggungan, gadai, atau
hak jaminan terhadapbarang yang dibeli oleh kosumensecara angsuran pasal 56 UU
8/99.
Selain
itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat jelas dibaca, aytau yang maksuudnya
sulit dimengerti.
Jika pengusaha tetap mencantumkan klausula baku yang
dilarang tersebut, maka klausula itu batal demi hukum. Artinya klausula itu
dianggap tidak pernah ada..
7. TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk
yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan
kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa
dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata
lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19
sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan
pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi
ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap
ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam
pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku
usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
·
barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
·
cacat barang timbul pada kemudian hari;
·
cacat timul akibat ditaatinya ketentuan
mengenai kualifikasi barang ;
·
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
·
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun
sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
8. SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat
kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam
undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak
mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah,
ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8
ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8
ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2
), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen
dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan
penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan
menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang
menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang
telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak
memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas
yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran
lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku
tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya
dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman
klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lima) tahun
penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di
dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang
masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar
atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha
yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar
menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang
sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang
kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih
dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU
No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2
(dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang
seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau
dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah
melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa
masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata
:
· Ganti rugi dalam bentuk :
· Pengembalian uang atau
· Penggantian barang atau
· Perawatan kesehatan, dan/atau
· Pemberian santunan
· Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah
tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi
Pidana :
· Kurungan :
· Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua
milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan
e dan Pasal 18
· Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus
juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
· Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun.
1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian
· Hukuman tambahan , antara lain :
· Pengumuman keputusan Hakim
· Pencabuttan izin usaha;
· Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
· Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
· Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
SUMBER :